Tuesday, November 23, 2010
Wednesday, June 23, 2010
EGOIS
Posting cerpen by: Yuura
"Kau akan mati setelah matahari tenggelam," perempuan berpakaian putih itu muncul di hadapanku sesaat aku baru membuka mata dari tidurku. Tubuhnya melayang-layang diatas kasur tempatku berbaring.
Aku mengusap kedua mataku, berusaha memandang dengan lebih jelas.Tanpa berfikir panjang kubangkitkan badanku dan segera beranjak dari kasur.
"Hei! Kau dengar aku tidak!" Teriak perempuan itu dari belakang. Ia merasa dihiraukan.
Aku berbalik, memandangnya dengan seksama. Dari ujung kaki hingga ujung rambutnya yang terurai panjang. Dia nyata. Seperti manusia hanya saja kakinya tidak menyentuh tanah.
"Kau ini apa?" Tanyaku dengan santai. "Hantu?" terkaku tanpa basa basi.
Perempuan itu menapakkan kakinya di tanah, "Aku adalah orang yang memberi tahu kematianmu namaku Lyoni," Jelasnya sambil membungkukan sedikit badan.
"Oh..." komentarku singkat. Aku kembali berbalik untuk melanjutkan apa yang seharisnya kulakukan.
Lyoni mengejarku, ia berdiri di hadapanku dan menghentikan langkahku, "Apa kau mengerti, kau akan mati!"
Aku terdiam sejenak, "Lalu aku harus bagaimana? Apakah aku diizinkan protes?"
kataku dengan tenang.Lyoni tersentak, lalu tertawa, seakan ia menemukan hal menarik. Tapi aku tidak peduli.
*****
Lyoni terus mengikutiku sepanjang hari, tapi entah kenapa aku merasa tidak terganggu.
"Kau punya kakak perempuan yang cantik ya, Reo," Lyoni mencoba memulai percakapan.
Waktu menunjukan pukul 11.00, terik matahari menyengat tubuhku di hari minggu ini. Aku membeli es krim di pinggir jalan dan meneduh dibawah pohon rindang.
"Aku hanya hidup berdua dengan kakakku," aku berusaha menjawab. "Dia sudah dewasa, memiliki pacar dan kehidupannya, hanya saja aku rasa dia terganggu dengan keberadaanku," Aku menjilat Es krim ditanganku, rasa dingin terasa menyegarkan di tenggorokanku. "Jika tidak ada aku mungkin kakak tidak akan menunda pernikahannya, tidak harus bekerja banting tulang untuk membiayai sekolahku, mungkin jika aku mati itu lebih baik," Aku menerawang jauh.
Lyoni tertawa ringan, ia hanya berdiri disampingku tanpa berkomentar.
"Sampai kapan kau akan mengikutiku?"
"Kau sudah tau, untuk apa bertanya? Jika kau merasa terganggu aku bisa menghilang dan kembali pada saatnya nanti."
"Apakah itu tugasmu?" Tanyaku lagi.
Lyoni tersenyum, "Kematian semua orang adalah hal yang sebenarnya sama, tapi cara setiap orang dalam menghadapinya lah yang berbeda, dan itulah yang menarikku," jelasnnya dengan bersemangat.
"Apa kau suka berbicara sendiri?"Seorang anak perempuan tiba-tiba duduk disebelahku, Ia menggendong seekor anak kucing yang kakinya terluka.
Aku baru menyadari jika Lyoni hanya bisa terlihat olehku.Lyoni hanya tertawa melihat kebodohanku.
"Anak kucing ini sepertinya kehilangan ibunya dan diserang oleh kucing lain," kata anak perempuan itu menjawab pandanganku yang mengarah pada anak kucing di tangannya.
"Dia akan mati kalau aku tidak menolongnya," Lanjutnya.
"Kau akan merawatnya?" Tanganku bergerak mengelus anak kucing itu. Dia mengeong kecil.
Anak perempuan itu menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku hanya menolongnya," katanya pelan.
Aku hanya diam, Lyoni kembali tertawa. " Tidakkah kau tau Reo, jika anak kucing itu tidak ditolong oleh anak perempuan itu maka dia akan mati diserang kucing lainnya," Lyoni beranjak mendekati anak kucing itu.
"Tapi," Lyoni melanjutkan. "Setelah anak perempuan itu meninggalkan lagi anak kucing ini, anak kucing ini akan mati dengan perlahan-lahan karena kelaparan dan lukanya," Lyoni menatap mata anak kucing itu dengan iba. "Tidakkah anak perempuan itu berfikir bagaimana anak kucing ini akan hidup tanpa ibunya dan dengan tubuh terluka?"
"Hentikan!" Teriakku, berusaha menghentikan kata-kata Lyoni yang entah mengapa membuatku kesal.
Anak perempuan disebelahku tersentak, ia lalu segera pergi.
"Manusia terkadang berfikir apa yang mereka lakukan benar, tapi mereka tidak pernah memandang bagaimana perasaan yang lainnya. Bukankah itu 'Egois'?" Lyoni menyeringai.
Aku kesal, kepalaku terasa panas oleh rasa kesal itu tapi aku juga tidak bisa menyangkal apa yang Lyoni katakan. Dia benar.
*****
Aku membuka pintu rumahku dengan helaan nafas. Lyoni sudah tidak mengikutiku lagi karena aku menyuruhnya untuk pergi. Waktu sudah menunjukan pukul 15.00. Mengingat matahari tenggelam sebentar lagi membuat tanganku bergetar.
"Selamat datang, Reo!" Sambut kakak perempuanku dengan senyumnya.
Aku menatap wajah kakakku, kata-kata Lyoni terngiang di telingaku. Satu hal yang terfikirkan olehku hanyalah, 'Apakah ini benar?'. Apakah kakak akan benar-benar bahagia jika aku mati? Atau itu hanya pemikiran egois seorang adik laki-laki yang tidak bisa membantu apapun untuk kakaknya? Apakah aku adalah manusia egois yang dikatakan Lyoni?
"Reo ada apa?" Kakakku mendekat, dihapusnya air mata yang tanpa kusadari sudah mengalir di pipiku. "Kau sakit?" Tanyanya dengan cemas.
"Maaf kakak, aku sungguh adik yang bodoh,"Kupeluk kakakku dengan erat, betapa tidak sadarnya aku bahwa perempuan yang ada di hadapanku ini begitu menyanyangiku hingga merelakan kebahagiaannya tertunda, dan apa yang aku fikirkan hanya akan menghancurkan kebahagiaannya. Aku egois.
"Aku menyanyangi kakak," bisikku di telingannya.
*****
Waktu menunjukan pukul 17.00. Sudah senja. Aku berdiri di halaman rumah, matahari nampak mulai menghilang.
Tiba-tiba Lyoni muncul dihadapanku, senyuman manis diberikannya padaku. Aku membalas senyumnnya.
"Aku sudah selesai di sini," Kata Lyoni. "Hiduplah dengan baik sampai waktumu tiba, Reo," Lanjutnya lagi.
Aku kaget, "Kenapa?" tanyaku.
Lyoni tertawa, "Aku hanya bilang saat matahari tenggelam, tapi tidak bilang itu kapan kan?"
Aku berusaha mengingat. Ah! Itu benar!
"Lalu kenapa kau muncul?"
"Terkadang ada orang yang perlu pengalaman untuk bisa mengerti bagaimana menghargai kehidupan, Reo. Aku hanya membantu."
Sosok Lyoni perlahan menghilang dari pandanganku.
"Oh ya, satu lagi!" Lyoni berteriak. "Tolong jangan percaya begitu saja pada dirimu sendiri."
Lyoni menghilang, melebur bersama udara. Aku hanya tertawa menghadap matahari yang mulai tenggelam.
"Kau akan mati setelah matahari tenggelam," perempuan berpakaian putih itu muncul di hadapanku sesaat aku baru membuka mata dari tidurku. Tubuhnya melayang-layang diatas kasur tempatku berbaring.
Aku mengusap kedua mataku, berusaha memandang dengan lebih jelas.Tanpa berfikir panjang kubangkitkan badanku dan segera beranjak dari kasur.
"Hei! Kau dengar aku tidak!" Teriak perempuan itu dari belakang. Ia merasa dihiraukan.
Aku berbalik, memandangnya dengan seksama. Dari ujung kaki hingga ujung rambutnya yang terurai panjang. Dia nyata. Seperti manusia hanya saja kakinya tidak menyentuh tanah.
"Kau ini apa?" Tanyaku dengan santai. "Hantu?" terkaku tanpa basa basi.
Perempuan itu menapakkan kakinya di tanah, "Aku adalah orang yang memberi tahu kematianmu namaku Lyoni," Jelasnya sambil membungkukan sedikit badan.
"Oh..." komentarku singkat. Aku kembali berbalik untuk melanjutkan apa yang seharisnya kulakukan.
Lyoni mengejarku, ia berdiri di hadapanku dan menghentikan langkahku, "Apa kau mengerti, kau akan mati!"
Aku terdiam sejenak, "Lalu aku harus bagaimana? Apakah aku diizinkan protes?"
kataku dengan tenang.Lyoni tersentak, lalu tertawa, seakan ia menemukan hal menarik. Tapi aku tidak peduli.
*****
Lyoni terus mengikutiku sepanjang hari, tapi entah kenapa aku merasa tidak terganggu.
"Kau punya kakak perempuan yang cantik ya, Reo," Lyoni mencoba memulai percakapan.
Waktu menunjukan pukul 11.00, terik matahari menyengat tubuhku di hari minggu ini. Aku membeli es krim di pinggir jalan dan meneduh dibawah pohon rindang.
"Aku hanya hidup berdua dengan kakakku," aku berusaha menjawab. "Dia sudah dewasa, memiliki pacar dan kehidupannya, hanya saja aku rasa dia terganggu dengan keberadaanku," Aku menjilat Es krim ditanganku, rasa dingin terasa menyegarkan di tenggorokanku. "Jika tidak ada aku mungkin kakak tidak akan menunda pernikahannya, tidak harus bekerja banting tulang untuk membiayai sekolahku, mungkin jika aku mati itu lebih baik," Aku menerawang jauh.
Lyoni tertawa ringan, ia hanya berdiri disampingku tanpa berkomentar.
"Sampai kapan kau akan mengikutiku?"
"Kau sudah tau, untuk apa bertanya? Jika kau merasa terganggu aku bisa menghilang dan kembali pada saatnya nanti."
"Apakah itu tugasmu?" Tanyaku lagi.
Lyoni tersenyum, "Kematian semua orang adalah hal yang sebenarnya sama, tapi cara setiap orang dalam menghadapinya lah yang berbeda, dan itulah yang menarikku," jelasnnya dengan bersemangat.
"Apa kau suka berbicara sendiri?"Seorang anak perempuan tiba-tiba duduk disebelahku, Ia menggendong seekor anak kucing yang kakinya terluka.
Aku baru menyadari jika Lyoni hanya bisa terlihat olehku.Lyoni hanya tertawa melihat kebodohanku.
"Anak kucing ini sepertinya kehilangan ibunya dan diserang oleh kucing lain," kata anak perempuan itu menjawab pandanganku yang mengarah pada anak kucing di tangannya.
"Dia akan mati kalau aku tidak menolongnya," Lanjutnya.
"Kau akan merawatnya?" Tanganku bergerak mengelus anak kucing itu. Dia mengeong kecil.
Anak perempuan itu menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku hanya menolongnya," katanya pelan.
Aku hanya diam, Lyoni kembali tertawa. " Tidakkah kau tau Reo, jika anak kucing itu tidak ditolong oleh anak perempuan itu maka dia akan mati diserang kucing lainnya," Lyoni beranjak mendekati anak kucing itu.
"Tapi," Lyoni melanjutkan. "Setelah anak perempuan itu meninggalkan lagi anak kucing ini, anak kucing ini akan mati dengan perlahan-lahan karena kelaparan dan lukanya," Lyoni menatap mata anak kucing itu dengan iba. "Tidakkah anak perempuan itu berfikir bagaimana anak kucing ini akan hidup tanpa ibunya dan dengan tubuh terluka?"
"Hentikan!" Teriakku, berusaha menghentikan kata-kata Lyoni yang entah mengapa membuatku kesal.
Anak perempuan disebelahku tersentak, ia lalu segera pergi.
"Manusia terkadang berfikir apa yang mereka lakukan benar, tapi mereka tidak pernah memandang bagaimana perasaan yang lainnya. Bukankah itu 'Egois'?" Lyoni menyeringai.
Aku kesal, kepalaku terasa panas oleh rasa kesal itu tapi aku juga tidak bisa menyangkal apa yang Lyoni katakan. Dia benar.
*****
Aku membuka pintu rumahku dengan helaan nafas. Lyoni sudah tidak mengikutiku lagi karena aku menyuruhnya untuk pergi. Waktu sudah menunjukan pukul 15.00. Mengingat matahari tenggelam sebentar lagi membuat tanganku bergetar.
"Selamat datang, Reo!" Sambut kakak perempuanku dengan senyumnya.
Aku menatap wajah kakakku, kata-kata Lyoni terngiang di telingaku. Satu hal yang terfikirkan olehku hanyalah, 'Apakah ini benar?'. Apakah kakak akan benar-benar bahagia jika aku mati? Atau itu hanya pemikiran egois seorang adik laki-laki yang tidak bisa membantu apapun untuk kakaknya? Apakah aku adalah manusia egois yang dikatakan Lyoni?
"Reo ada apa?" Kakakku mendekat, dihapusnya air mata yang tanpa kusadari sudah mengalir di pipiku. "Kau sakit?" Tanyanya dengan cemas.
"Maaf kakak, aku sungguh adik yang bodoh,"Kupeluk kakakku dengan erat, betapa tidak sadarnya aku bahwa perempuan yang ada di hadapanku ini begitu menyanyangiku hingga merelakan kebahagiaannya tertunda, dan apa yang aku fikirkan hanya akan menghancurkan kebahagiaannya. Aku egois.
"Aku menyanyangi kakak," bisikku di telingannya.
*****
Waktu menunjukan pukul 17.00. Sudah senja. Aku berdiri di halaman rumah, matahari nampak mulai menghilang.
Tiba-tiba Lyoni muncul dihadapanku, senyuman manis diberikannya padaku. Aku membalas senyumnnya.
"Aku sudah selesai di sini," Kata Lyoni. "Hiduplah dengan baik sampai waktumu tiba, Reo," Lanjutnya lagi.
Aku kaget, "Kenapa?" tanyaku.
Lyoni tertawa, "Aku hanya bilang saat matahari tenggelam, tapi tidak bilang itu kapan kan?"
Aku berusaha mengingat. Ah! Itu benar!
"Lalu kenapa kau muncul?"
"Terkadang ada orang yang perlu pengalaman untuk bisa mengerti bagaimana menghargai kehidupan, Reo. Aku hanya membantu."
Sosok Lyoni perlahan menghilang dari pandanganku.
"Oh ya, satu lagi!" Lyoni berteriak. "Tolong jangan percaya begitu saja pada dirimu sendiri."
Lyoni menghilang, melebur bersama udara. Aku hanya tertawa menghadap matahari yang mulai tenggelam.
Labels:
KuCer(kumpulan Cerita)
DINDING EGO
Bila akan kamu pecahkan dinding ego yang tebal itu?
Kamu lebih rela digelar sombong,
Daripada memecahkan jidar ego yang membentengi diri.
Kenapa ego?
Besar sangatkah?
Berkuasa benarkah?
Lalu kata dia,
Ego untuk menutup kesalahan dan kelemahan,
Supaya nampak kuat.
Ah,
Lemar benar pendapat itu,
Egomu sampai ramai yang sakit keranamu,
Membenarkan orang lain melaku dosa kerana mengumpatmu...
Kikiskan dinding ego itu,
Biar nampak indahnya kehidupan,
Dikelilingi alam mendamaikan,
Hidup hanya harapkan redha Tuhan,
Dalam mencari bekal menuju hari Kepastian.
Pecahkan dinding ego,
Hidupmu pasti bahagia.
Kamu lebih rela digelar sombong,
Daripada memecahkan jidar ego yang membentengi diri.
Kenapa ego?
Besar sangatkah?
Berkuasa benarkah?
Lalu kata dia,
Ego untuk menutup kesalahan dan kelemahan,
Supaya nampak kuat.
Ah,
Lemar benar pendapat itu,
Egomu sampai ramai yang sakit keranamu,
Membenarkan orang lain melaku dosa kerana mengumpatmu...
Kikiskan dinding ego itu,
Biar nampak indahnya kehidupan,
Dikelilingi alam mendamaikan,
Hidup hanya harapkan redha Tuhan,
Dalam mencari bekal menuju hari Kepastian.
Pecahkan dinding ego,
Hidupmu pasti bahagia.
Labels:
Curahan Hati